Sunday, 25 January 2009

Judge Bao

Judge Bao, Sosok Impian di Indonesia

(Josh Chen – Global Citizen)

Keprihatinan akan beberapa kasus yang berkembang belakangan ini menjadikan saya tersentak waktu seorang KoKier menanyakan kepada saya apakah ingat film seri lama yang pernah diputar di salah satu TV swasta di Indonesia, yaitu film Judge Bao. Langsung berdenting pikiran saya, dan seketika melayang ke beberapa tahun lalu ketika serial Judge Bao ini masih diputar di RCTI.

Wajah kereng berwibawa, berkulit kehitaman, dengan tanda bulan sabit di dahinya, dengan pakaian kebesaran khas serta topi jaksanya, didampingi oleh beberapa punggawanya, yang paling terkenal adalah Zhan Zhao (baca: Can Cau), yang dibintangi oleh Kenny Ho, dengan wajahnya yang kalem, pakaian warna merah, pedang tergenggam di tangan dan ilmu silat yang tinggi. Zhan Zhao selalu siap mendampingi Judge Bao ke manapun pergi, bertugas rangkap-rangkap, mulai jadi intel (bukan Pak Ki Ageng lho...hehehe), jadi pengawal alias bodyguard, jadi pelindung saksi, penyelamat keluarga korban kejahatan dan masih banyak lagi.


Belum lagi lagunya yang khas sekali, penuh tetabuhan yang ramai serta meriah, walaupun sampai sekarang saya tidak mengerti arti lirik lagu tsb, sampai sekarang masih senang saja jika mendengarnya. Bagi yang ingin mendengar lagu kebesaran film seri Judge Bao ketika itu, saya dapatkan di youtube versi yang dinyanyikan oleh Andy Lau: http://www.youtube.com/watch?v=B4EqhvJvRkU

Judge Bao adalah sebutan dalam bahasa Inggris, nama asli beliau adalah Bao Zheng (包拯, baca: Pau Ceng), seorang jaksa dari Dinasti Song (baca: Sung), tahun 999 – 1062, jabatannya sekaligus adalah Walikota Kaifeng. Dikenal karena ketegasan dan keberaniannya menegakkan hukum tanpa pandang bulu, sehingga lebih dikenal dengan nama Bao Qing Tian (包青天, baca: Pau Jing Thien), yang artinya adalah Bao Langit Biru, karena selalu membaca hukum yang mencerahkan rakyatnya di masa itu. Tidak terdapat bukti apapun yang mendasari penggambaran tokoh Judge Bao ini adalah seorang yang berkulit hitam gelap seperti di filmnya, tapi penggambaran kulit hitam itu adalah menyiratkan simbol “kegelapan” di dunia keadilan Imperial China di masa itu. 

Judge Bao terlahir dalam keluarga berpendidikan di Luzhou, yang sekarang dinamakan Hefei, di Provinsi Anhui, yang sampai sekarang merupakan provinsi paling miskin di China. Dalam usianya yang relatif muda, beliau sudah lulus ujian nasional tingkat tertinggi yang merupakan puncak dari seorang pelajar di masa itu, karena diwisuda langsung oleh kaisar, yang menyebabkan dia layak menyandang gelar Jinshi, kurang lebih setingkat Jaksa Agung Muda untuk penamaan di Indonesia. 

Film seri Judge Bao pertama kali dibuat di Taiwan, dengan judul yang sama yaitu Judge Bao (包青天) di tahun 90’an. Dengan cepat kepopuleran film seri ini meroket hampir menyamai puncak kejayaan film Sia Tiauw Eng Hiong (Condor Heroes) yang legendaris dibintangi oleh Felix Wong – Barbara Yung.

Popularitas film-fim serial itu membawa dampak yang sangat luas. Tak lama setelah booming di Taiwan dan Hongkong, ada banyak produk yang memanfaatkan tokoh Hakim Bao sebagai bintang iklan. Berbagai film layar lebar dan versi lain serialnya pun dibuat. Aktor komedi beken asal Hongkong, Stephen Chow, bahkan pernah bermain di film layar lebar yang memparodikan kepopulerannya dalam Bailian de Bao Qing Tian (Hakim Bao Berwajah Putih). Di Indonesia judul bahasa Inggrisnya, Hail The Judge. Chow bermain sebagai seorang hakim pecundang walau dia merupakan keturunan Hakim Bao yang terkenal sangat adil.


Kesan adil memang melekat erat dalam dirinya yang hidup di masa Dinasti Song (960 - 1279). Satu kisah mengenai sikap keadilan dirinya adalah ketika ia harus mengadili Chen Shimei, menantu raja, atas tuduhan Qin Xianglian. Chen dan Qing tadinya sepasang suami istri. Chen pergi ke ibu kota Kaifeng untuk mengikuti ujian negara. Setelah lulus, Chen bukannya kembali menjemput orang tua, istri, dan anaknya, ia malah mengaku bujangan dan berhasil memperoleh nama dan kedudukan dengan jalan menikahi putri raja.

Sementara itu Qin terpaksa membanting tulang merawat mertua dan anaknya. Ketika bahaya kelaparan melanda desa sampai menewaskan kedua mertuanya, Qin lantas membawa anak-anaknya ke Kaifeng. Namun, ia mendapati suaminya telah menikah lagi dan menolak mengakui keberadaan mereka.

Qin mengadukan nasib malangnya kepada Hakim Bao yang terkenal keadilannya. Hakim Bao lantas mengambil tindakan tegas untuk menghukum mati sang menantu raja, meski taruhannya adalah nyawa dan kedudukannya sendiri. Keputusan ini ditentang permaisuri yang melarangnya mencampuri urusan keluarga raja. Perintah tegas permaisuri ini pun ditanggapi dengan ujaran dingin, "Keluarga raja dan rakyat jelata mempunyai kedudukan yang sama. Jadi, tetap harus tunduk pada hukum negara."

Manakala permaisuri mengancamnya dengan kekerasan, Bao malah memilih menanggalkan topi dan jubahnya. Hukuman mati bagi Chen tetap dilaksanakan.

Itulah sikap tegas yang ditunjukkan Bao. Dia lebih rela kehilangan pekerjaan ketimbang mengkhianati hukum negara yang dia yakini.

Tipe hakim bijak serupa inilah yang membuat sosok Bao Zheng begitu dikagumi orang. Kesuksesan pemutaran serial televisinya di Taiwan dan Hongkong merupakan bukti kerinduan orang akan sosok hakim yang jujur, antikorup, adil, dan bijaksana. Jarang sekali publik televisi Hongkong mau menerima kehadiran serial televisi produksi Taiwan atau RRC. Tapi untuk kasus serial Hakim Bao, lain ceritanya. Mereka begitu menyukainya, bahkan mendudukkannya di papan atas film-film populer.

Di Indonesia sendiri tidak kalah populer, bahkan ketika RCTI menghentikan penayangan Judge Bao ini, banyak sekali surat dari pemirsa yang dilayangkan ke studio untuk minta pemutaran lagi. Penayangan ulang akhirnya dikabulkan dan masih saja memikat hati pemirsa.

Dari cuplikan salah satu episode di atas, bisa kita lihat bagaimana tegasnya seorang Judge Bao menegakkan supremasi hukum, di mana di Indonesia bukan hanya hitam, tapi lebih kelam daripada hitam itu sendiri, masih banyak kasus di mana para penegak dan pengayom hukum yang seharusnya memiliki hati nurani keadilan, tapi malah justru terjadi keputusan-keputusan serta kejadian-kejadian di luar kemampuan pikir rakyat Indonesia.

• Mengutip sebuah harian Ibukota, 26 Desember 2007, Pemotongan Ayam Formalin digerebek. Tempat yang sudah beroperasi lebih dari 10 tahun, dengan kapasitas 20.000 ekor/hari, tempat pemotongan ayam di Kelurahan Budi Asih, Kecamatan Tangerang Kota, berhasil digerebek aparat. 10 tersangka berhasil diamankan TAPI TIDAK DITAHAN, karena BERJANJI tidak akan melarikan diri. Hanya cukup membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan mereka.

• Pernahkah bandar besar narkoba, big boss narkoba Indonesia kena tangkap? Sepanjang ingatan saya, belum pernah, hanya pemakai yang selalu diuber, diobok, sekaligus pengedar. Yang diobok pasukan artis.

• KCM hari ini, 29 November 2007, Benih Sawit Palsu Tak Satupun Selesai Diproses. Sejak 2005, tidak ada satupun kasus diproses. Asal muasal benih palsu dan pelakunya tidak pernah terungkap.

• Dekan IPDN Lexie Giroth divonis BEBAS, TIDAK BERSALAH!

• Hakim menyatakan penggugat Lapindo TIDAK BERALASAN, PT. Lapindo Brantas TIDAK BERSALAH.

• Gembong besar Adelin Lis, divonis TIDAK BERSALAH, dan hebatnya walaupun “tidak bersalah” tapi yang bersangkutan “menguap” entah ke mana, takut ditangkap? Hopo tumon? Seorang pejabat tinggi sekali, berdiri kuat-kuat di belakang Adelin Lis, bela habis-habisan segenap jiwa raga!

• Kasus BI yang bagi-bagi duit ke DPR, sampai detik tulisan ini ditulis, tidak ada kejelasan, karena dianggap kekurangan bukti, alasan klasik sekali, dengan alasan kejadian cukup lama, bukti susah didapat.

• Kasus Adam Air TIDAK PERNAH tuntas. Justru makin berkibar, peduli apa kata orang, yang penting “the sky metromini” tetap terbang.

• Sayap pesawat cuil dan jatuh di Tangerang juga tidak masalah.

• Konspirasi berjamaah terbesar dalam sejarah Indonesia; BLBI sampai detik ini tidak ada kejelasan.

Memang tidak menutup mata, banyak sekali kasus besar terpecahkan, terbongkar, tapi memang masih banyak PR untuk penegakan hukum negeri ini. Wahai Judge Bao- Judge Bao...apakah masih ada di negeri ini??

God Bless Indonesia....peace...cheers.....


Sumber dan Foto-foto:

http://en.wikipedia.org/wiki/Bao_Qingtian

http://www.indomedia.com/intisari/1997/desember/j_bao.htm

http://www.chinapage.org/biography/baogong.html

http://www.icac.org.hk/newsl/issue11eng/button3.htm

http://kennyhokarking.tripod.com/film.html


Note:

Tulisan ini pernah tayang di Kompas Komunitas (KoKi), info seperti di bawah ini

Sent: 29 November 2007 (dikirimkan penulis ke redaksi)

Published: Hacker, B2W VS FIF & Hari AIDS (China, Aceh, Jerman), 30 November 2007 http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=52620&section=92

Friday, 23 January 2009

Tjersil, Kang Ouw, Dunia Persilatan

Kang Ouw

Rangkaian Tulisan Menyambut Chinese New Year 2009 - Artikel  1

(Kolaborasi: Eunice – Solo & Josh Chen – Global Citizen)


Pengantar:

Dalam rangka menyambut Tahun Baru Imlek alias Chinese New Year 2009 yang akan berganti dari Tahun Tikus ke Tahun Kerbau yang jatuh tepat pada tanggal 26 January 2009 minggu depan, saya bermaksud menurunkan tulisan berseri seluk beluk, pernak pernik apapun juga di seputar Imlek tsb. Termasuk di dalamnya adalah tulisan mengenai budaya, makanan, foto, adat istiadat, silang budaya, asimilasi, dsb.

Diawali dengan tulisan ini, mengenai Dunia Persilatan alias Kang Ouw....merupakan hasil kolaborasi dengan Eunice dari Solo. Sebenarnya tulisan ini sudah dikirim pertengahan tahun lalu, dan disimpan dengan baik rencananya untuk sekitar akhir tahun. Alasan saya adalah, ingin melengkapi dengan cover buku silat seri yang masih ada di Semarang ketika Eunice mengirim tulisan ini. Saya mencoba mengomunikasikan dengan Eunice, dan dia setuju untuk menunggu buku-buku silat saya dikirim dari Semarang.

Ternyata proses pengiriman tsb tertunda-tunda karena satu dan lain hal dan baru terlaksana di sekitar bulan November tepat pada peringatan 100 hari meninggalnya Papa. Itupun setelah sampai di Jakarta kira-kira di akhir November, karena berbagai hal, dus-dus yang datang baru bisa dibongkar di bulan December kemarin. Dengan berat hati, tulisan ini masih tersimpan dengan baik dan saya memutuskan untuk sekalian dikirim untuk menyambut Chinese New Year 2009.

Salah satu pengaruh budaya China yang paling kuat di Indonesia tidak bisa kita sangkal adalah cerita silat dan film serial kungfu/silat. Mulai dari kaset video Betamax di awal tahun 80'an sampai dengan detik ini DVD yang ringkas, canggih dan praktis, masih saja serial-serial silat beredar tak kenal putus. Di stasiun-stasiun TV di Indonesia di awal tahun 90'an juga banyak memutar film-film silat yang sudah di'dubbing bahasa Indonesia (terus terang lucu tenan menurut saya), dan mendapat sambutan cukup luar biasa....

Inilah kisah dunia persilatan....









Jalan-jalan Dunia Persilatan

Hallo Kokiers. Paling enak memang nulis untuk KoKi. Tidak usah pusing-pusing mikir bahasa baku, referensi yang rumit dan terarah, pokoknya bebas mengarahkan ketikan keyboard kemana saja yang kita suka (asal asyik dibaca dan informasi harus akurat dan tidak menyesatkan). Kali ini aku mau jalan-jalan ke dunia persilatan. Dulu di KoKi lama kita pernah intip-intip dunia persilatan diajak Suhu Jari Cepat, sekarang tentu Suhu ikut dong, ntar ngambek kalau tidak diajak ke tempat yang disukainya (secara aku maniak jadoel dan Suhu JC maniak persilatan sepanjang masa).

Tadinya aku ingin nulis tentang tiga pilar dunia persilatan yaitu tiga penulis terkemuka cersil yaitu Chin Yung, Liang Ie Shen dan Ku Lung. tetapi sekarang tidak ada batasan deh, pokoknya aku mau 'ngalor-ngidul' sesukaku. Dan ma'af aku bakalan 'no-comment' lagi bukan ikut-ikutan Desy R. tapi memang tidak bisa lihat semua komentar (hal 1 aja) plus tidak bisa log-in maka semua komentar akan dijawab oleh Suhu JC.

Ya sekarang mulai. Aku ingat waktu aku kecil ada toko buku di kota Solo yang mencantumkan tulisan di temboknya bahwa "buku adalah jendela dunia". Setuju banget dengan pernyataan itu, secara walau belum pernah keliling dunia aku sudah menjelajah berbagai tempat dan budaya lewat buku. Pertama waktu kecil banget penuntunku adalah H.C. Andersen dengan dongeng-dongengnya yang walau namanya dongeng ternyata sarat dengan berbagai pesan yang berbobot. Jadi merasa beruntung sempat membaca dongeng-dongeng semacam itu. Kemudian beralih ke Enid Blyton yang walau bukunya banyak yang kujelajahi hanyalah dunia anak dan sekolah di Britania Raya saja. Tapi asyik juga. Pengalaman tak terlupakan. Kemudian baca Trio Detective. Karena pengarangnya ada beberapa orang aku jadi tidak begitu ingat. Tapi yang jelas orang ini jelas adalah salah satu pengarang favoritku: Chin Yung.

















Louis Cha alias Chin Yung

Terus-terang aku mulai baca cersil lantaran ada demam video silat saat itu. Sebagai bocah demen aja melihat dandanan-dandanan yang unik, baju yang berwarna-warni dan peragaan-peragaan ilmu bela diri yang bikin takjub. Dan wajah-wajah yang tampan dan cantik (tentu dong, kan tidak enak lihat wajah jelek di film seri). Menonton VHS, terus baca cersilnya, ternyata ada perbedaan cerita. Cersil yang aku baca pertama memang karya Chin Yung, Return of the Condor Heroes, berbeda dengan banyak orang buku dan serial TVnya bukan favoritku. Waktu itu aku lebih senang serial pendahulunya Legend of the Condor Heroes karena ada tokoh Gengis Khan yang kebetulan aku baca riwayatnya di Intisari pada saat yang sama. Karena tokoh sejarah ini aku jadi terkagum-kagum sama Chin Yung yang bisa-bisanya merangkai tokoh sejarah dalam jalinan cerita yang rumit nan apik. Juga mungkin aku lebih senang mengikuti sepak terjang Oey Yong (leading lady "Legend") yang cerdik dan nakal dibanding sikap dingin Siao Liong Li ("Return").

Sesuai dengan judul tulisan ini "Jalan-jalan ...' maka ini yang mau aku bilang tentang karya Chin Yung, selain ahli sejarah Chin Yung ternyata juga ahli geografi. Lewat cersil aku jadi akrab dengan istilah Gunung Hua (atau Hua Shan). Seumur hidup mungkin aku tidak akan ke sana. Tetapi bisa membayangkan disana ada partai Gunung Hoa (Hoa San Pay). Pertemuan (pertandingan) persilatan kelas wahid konon diadakan di sana. Jadi tahu kalau pegunungan Kun Lun letaknya di barat. Kota Lok Yang ada di selatan. Kerajaan Tayli letaknya di selatan (mungkin sekarang Thailand). Dan partai yang sering diceritakan Shaolin Pay dan Wu Tang Pay memang ada di dokumentasi sejarah. Dan kebetulan juga kakek buyutku juga pernah belajar silat dan ilmu pengobatan di Shaolin (sekarang kuburnya ada di Solo, beliau dulu waktu hidup suka mengobati penduduk lokal). Jadi partai ini benar-benar ada. Karena lokasi yang sebagian besar memang ada, tokoh yang sebagian memang ada ditambah penulisan keadaan sosial budaya yang akurat, cersil Chin Yung yang rumit memang bukan bacaan yang kacangan.

Yang bikin aku kecanduan berat waktu itu bukan cersil Legend atau Return, namun seri ketiga dari trilogi Condor Heroes ini yakni Heaven Sword and Dragon Sabre atau yang lebih dikenal dengan To Liong To. Tidak tahu kenapa, mungkin ceritanya bikin penasaran. Pertama pendekar dari partai putih jatuh cinta sama pendekar wanita dari partai sesat (orang tua Thio Bu Ki). Kedua pendekar yang heroik mati-matian membela negara (Thio Bu Ki) jatuh cinta sama putri kerajaan musuh (Tio Beng). Ruwet kan? Jalinan cerita di cersil apik benar (semua karya Chin Yung jalinan ceritanya apik dan tidak semua tertuang sempurna di TV serie). Ada hal unik di To Liong To yaitu agama atau sekte Beng Kauw atau dijuluki Mo Kauw (Partai Iblis) oleh golongan yang menganggap dirinya aliran putih. Rupanya dalam catatan sejarah memang ada agama tertentu di Persia yang sekarang sudah punah yang ada kaitannya dengan Beng Kauw ini. Jadi kagum lagi sama pengetahuannya Chin Yung ini kok bisa-bisanya tahu dan menceritakan tentang sesuatu yang dulu ada namun sekarang sudah tidak ada. Wah kata-kataku membingungkan ya.

Lalu cersil berikut yang bikin aku kecanduan adalah The Smiling, Proud Wanderer (filmnya Swordman). Cersil jauh lebih komplit dari film atau TV seri. Kali ini fatal, gara-gara cersil ini mataku jadi minus dan aku harus pakai kaca mata. Gara-gara ingin tahu kelanjutan cerita walau sudah ngantuk berat, tertidur, terus bangun pengin baca lagi di malam buta di tempat tidur - wah pokoknya mataku tersiksa abis deh. Di cersil ini lucu karena seorang pendekar mata keranjang menculik seorang biarawati muda dan mereka berdua adu omong (mungkin tidak kalah dengan debat Joe Biden - Sarah Palin gitu) he..he.. Menarik banget seraya cemas memikirkan nasib si biarawati di mulut buaya. Kadang-kadang waktu tegang-tegangnya cerita tiba tiba ada hal lucu yang diceritakan Chin Yung. Surprise deh.

Terus Rase Terbang dari Pegunungan Salju ... wah ini juga hidangan lezat buatku. Pokoknya banyak karya Chin Yung membuatku kecanduan. Aku juga cukup nyandu cersil karangan pengarang lain termasuk pengarang kita Kho Ping Hoo. Namun jika sekarang ditanya Kho Ping Hoo nulis apa, aku kok lupa ya. Mungkin karena tokoh-tokoh Chin Yung lebih aneh-aneh seperti Yo Ko yang buntung namun jago, Wei Siao Pao tokoh utama yang tidak bersifat ksatria namun selalu beruntung, rajawali peliharaan pesilat tangguh yang mengajar YoKo, Ho Chin Tong yang walau wanita ilmu silatnya tinggi dan jadi ujung tombak sukunya yang beragama Islam, semua pendekar wanita di To Liong To pemberani dan tidak kenal kata takut (tidak ada diskriminasi wanita), Li Mo Chou yang jahat di Return walau berdandan biarawati dan selalu pegang kebut. Pangeran yang hobi ngloyor, Toan Ki, yang di sejarah memang ada catatan tentang keluarga Toan ini. Tokoh yang muncul di cersil yang satu bisa muncul lagi di cersil lain yang tidak berhubungan. Ini yang membuat karya ChinYung tambah menarik.

Dan banyak lagi kalau kuteruskan nanti tulisan ini jadi sepanjang cersil. Selain karya Chin Yung, ada karya pengarang lain yang aku baca agak aneh yaitu karya Ku Lung. Walau cersil, karya Ku Lung seperti cerita detektif dan konon Ku Lung memang dipengaruhi oleh penulis-penulis barat seperti Ernest Hemmingway, Jack London, John Steinbeck dan Friedrich Nietzsche. Karya Ku Lung yang familiar buatku adalah Chu Lu Hsiang (Pendekar Harum) dan Pendekar Empat Alis. Karya Chin Yung dan Liang Ie Shen lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai China kuno seperti Khong Hu Chu, Buddha dan Taoisme. Nilai-nilai budaya China tertuang tidak hanya pada ilmu bela diri tetapi juga ilmu pengobatan, akupuntur, musik, kaligrafi, filsafat.

Dari tadi pengalamanku membaca, sekarang sedikit catatan tentang para pengarang cersil. Chin Yung banyak menerima penghargaan atas karya-karyanya. Dia sekarang, di usia 80-an masih belajar untuk gelar PhD Sejarah Cina di St. John's College, Cambridge. Sedang Liang Ie Shen tinggal di Sydney, Australia. Chin Yung dan Liang sudah lama berhenti menulis cersil. Ku Lung yang tinggal di Taiwan sudah meninggal tahun 1985. Kho Ping Hoo juga sudah meninggal. Jadi tidak ada cersil baru buatku. Sekarang tidak ada lagi waktu nganggur buat baca cersil. Yang bikin kaca-mata tebal sekarang adalah KoKi. :))

Terakhir ini setting waktu karya-karya Chin Yung. Setting waktu ini menarik karena terkait dengan sejarah panjang dinasti-dinasti yang memerintah di China, kalau di TV serie mempengaruhi corak pakaian dan dandanan pemainnya. Coba bandingkan dandanan Yo Ko (Return) dengan Ouw Fei (Rase Terbang) yang rambutnya dikepang karena saat itu China dijajah bangsa Manchu.

Abad 6 SM Sword of the Yue Maiden
Abad 11 Demi-Gods and Semi-Devils
Abad 12 The Legend of the Condor Heroes
Abad 13 The Return of the Condor Heroes
Abad 14 The Heavenly Sword and the Dragon Saber
Abad 15/16 The Smiling, Proud Wanderer; Ode to Gallantry
Abad 17 Sword Stained With Royal Blood; The Deer and the Cauldron'
Abad 18 Book and Sword; Young Flying Fox; Flying Fox of Snowy Mountain

Sekarang benar-benar selesai ulasanku. Niat semula mau 'ngalor-ngidul' ternyata banyak ngomongin Chin Yung doang. Selamat mengikuti uraian selanjutnya dari Suhu JC. Semoga lebih menarik dan kocak :)

Walah, Eunice, kocak? Hehehe...emang ndagel ya? Lanjuuuttt.....

Memang tidak salah! Chin Yung merupakan pengarang cerita silat legendaris sepanjang masa!! Jika aku menyebutkan To Liong To, atau Yo Ko, atau Kwee Ceng, kemungkinan besar KoKiers – KoKoers pernah mengenal nama-nama itu. Tapi jika aku sebutkan Perjodohan Busur Kumala, atau Kiem Si Ih, atau Pek Hoat Mo Lie, kecil kemungkinan KoKiers – KoKoers mengenal atau pernah mendengarnya. Yak betul sekali, bagian pertama adalah hasil karya Chin Yung, dan bagian kedua yang saya sebut adalah hasil karya Liang Ie Shen.

Apalagi beberapa waktu lalu Juwi sempat bertanya dan 'menodong' aku untuk menjelaskan pakem cerita silat secara ringkas karena beliaunya sedang di toko DVD hendak memperkenalkan para tokoh kang ouw di keluarganya.....ya sudah sekalian berarti tulisan ini semoga dapat menjadi referensi buat Juwi dan juga siapa saja yang membacanya.....

Jin Yong adalah penulisan yang benar dari Chin Yung....tapi kita lebih mengenal Chin Yung mengingat begitulah penulisan awal yang dikenal di Indonesia dan tetap melekat sampai sekarang ini. Nama asli Chin Yung adalah Zha Liang Yong dan dikenal juga sebagai Louis Cha. Lahir di Haining, Zhejiang Province tahun 1924. Total hasil karya Chin Yung ada 15 cerita silat, hasil karya sepanjang hidupnya. Dan ada museum khusus tentang seluk beluk tentang Chin Yung di Macau.  


Museum Chin Yung


Naskah Tulisan Tangan Chin Yung


Koreksi Naskah



Cover Asli To Liong To & Gambar


Sia Tiauw Eng Hiong 2008


Sin Tiau Hiap Lu 2006


To Liong To 2009 (belum selesai shooting)

Di luar pakem trilogi di atas, sebenarnya masih banyak sempalan yang berusaha mengaitkan trilogi itu mulai dari pra dan pasca kisah-kisah itu. Aku sendiri pernah membaca 2 judul pra Sia Tiauw Eng Hiong, entah siapa penulisnya, judulnya yaitu Lima Jago Luar Biasa dan Hoa San Lun Kiam. Inti dari 2 judul ini adalah masa kecil dan masa muda 5 tokoh sakti nantinya di STEH dan STHL. Lima tokoh tsb adalah: Oey Yok Su yang dikenal dengan julukan Sesat Dari Timur, kemudian Ang Chit Kong, si Pengemis Utara, Auwyang Hong si Racun Barat, Toan Hong Ya si Raja Selatan (belakangan menjadi It Teng Taysu) dan Ong Tiong Yang si Pendeta dari Tionggoan. Dua judul ini cukup menarik, masuk akal dan cukup klik dan bisa 'dimasukkan' dalam pakem trilogi tadi.

Sementara itu, setelah STHL ada yang cukup berani menuliskan lanjutan Sin Tiauw Hiap Lu dengan judul Sin Tiauw Thian Lam dan Beruang Salju. Di mana menurut aku yang sempat juga membacanya, 2 judul ini ceritanya kacau balau dan tidak ada yang nyangkut sama sekali di otak ini, cuma teringat judulnya saja. Terlalu jauh keluar dari pakem, gaya bahasa yang kurang pas dan tidak enak diikuti menyebabkan aku membaca dengan cepat, dan akhirnya lupa sampai sekarang. Yang aku ingat adalah tokoh utama adalah bernama Yo Him, anak dari pasangan pendekar rajawali Yo Ko dan Siauw Liong Lie yang super sakti mandraguna. Padahal di dalam pake trilogi di atas tadi anak pasangan pendekar rajawali adalah cewek dan tidak pernah dikenal namanya oleh siapapun dan tetap misterius. Pemunculan anak perempuan Yo Ko dan Siauw Liong Lie di To Liong To cuma ada 2 kali pemunculan di saat kritis menolong Thio Bu Ki dari kesulitan.

Beberapa ciri yang dapat dikenali dari cerita silat adalah:

  • Kisah kepahlawanan: mengusir atau melawan penjajah, atau melawan kejahatan luar biasa

  • Roman. Biasanya romantis sekali, menunjukkan kesetiaan luar biasa pasangan lakon utama, walaupun biasanya lakon yang cowok dikerubuti sekian banyak tokoh wanita di dalam cerita itu.

  • Ilmu sakti mandraguna. Segala jenis kitab, jurus dan senjata yang sakti mandraguna.

  • Jurang atau gunung. Ilmu sakti yang didapat dengan cara ajaib karena jatuh ke jurang, terdampar di pucuk gunung terpencil, selalu menjadi warna tersendiri di kebanyakan cerita silat.

  • Sesekali keluar pakem...Siauw Liong Lie yang pantas jadi bibi si Yo Ko malah akhirnya berpasangan. Thio Bu Ki yang jatuh hati kepada 'penjajah' si Tio Beng, juga akhirnya happily ever after, dan masih banyak lagi.....

  • Bakti kepada guru dan orangtua.

  • Pengkhianatan dan intrik.

  • Dan masih banyak lagi......

Sekian dulu ulasan panjang lebar kali ini....semoga tidak mblenger dan bosan membacanya dan menambah sedikit 'ilmu silat' para pembaca....




Koleksi Pribadi Tjersil To Liong To


Note:
Sudah pernah dimuat di Kompas Komunitas (KoKi) di http://community.kompas.com/read/artikel/2145