Wednesday, 26 March 2008

Emi Fujita

Emi Fujita Camomile Plus
(Josh Chen – Global Citizen)

Hello Mamak Presiden Z, KoKiers di mana saja.....

Setelah tulisan ini itu di KoKi, kemudian nyerempet ke MakPles, kali ini saya ingin mencoba ikutan ke musik. Kebetulan salah satu hobby saya yang paling dalam saya geluti adalah musik, sedari dulu, mulai jaman kaset, kemudian CD, LD, bahkan sampai bergaul akrab dengan dunia “bawah tanah” rekaman yang pernah saya tulis juga di edisi Father’s Day, Jambret & Sunat (AS, Jerman, Belanda), 15 Juni 2007,
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=33233&section=92 dengan judul Rekaman Kaset – Solusi di Waktu Dulu.

Range aliran musik yang saya sukai benar-benar sangat luas, dari klasik, jazz, pop, R&B, house music, disco dance, slow rock, heavy metal, lagu berbahasa Indonesia, Mandarin, Jawa, Jerman, Belanda, Italia bisa saya nikmati dan saya memiliki beberapa di antaranya, tidak perlu disebut lagu berbahasa Inggris, sudah menjadi santapan saya sejak kecil.

Sekarang ini saya lebih menyukai CD yang direkam dengan DSD (bukan DSD – Almere lho), tapi ini Direct Stream Digital yang menghasilkan reproduksi suara yang luar biasa. Spektrum suara yang lebar, transient yang dinamik dan kedalaman vokal yang mumpuni. Rekaman dalam format di atasnya ada juga, yaitu SACD murni dan SACD hybrid.


Kali ini saya ingin mencoba menuliskan pengalaman “spiritual” dalam mendengarkan album Emi Fujita Camomile Plus yang merupakan album kompilasi dan retro, yaitu dinyanyikannya lagu-lagu lama.

Cover yang menarik, elegan dan artistik menarik perhatian saya. Walaupun saya sudah pernah punya beberapa lagu dari Emi Fujita, tapi album ini kelihatan lain. Saya mengayunkan langkah ke salah satu toko di SMS Gading Serpong, dan mencoba di ruang khusus di bagian belakang, karena CD ini dikategorikan audiophile CD. Keping CD yang berlapis emas makin meyakinkan saya akan kualitas rekaman audiophile CD ini.

Denting piano segera menyeruak di ruang dengar khusus tsb, membelai pendengaran saya dan membuai hati. Suara jernih dari seorang Emi Fujita mengalun lembut dari speaker Bose di sana. Lagu lawas dari trio Gibb bersaudara, Bee Gees terdengar manis dilantunkan oleh Emi Fujita dalam aransemen yang minimalis dan suara yang sungguh pas. First of May mengalun halus. Tanpa berpikir panjang, segera saya minta yang masih bersegel dan menebus harganya di kasir.

Tidak sabar di rumah, segera saya siapkan audio set saya. CD player harman kardon, dikombinasikan dengan pre-amplifier dan power amplifier rakitan sendiri, dan dieksekusi dengan sepasang speaker mungil, yang juga rancangan dan perhitungan sendiri, @ 2 x 5” Sony mini woofer dan tweeter Audax limited edition menjadi corong reproduksi terakhir. Denting piano kembali mengalun, dan saya segera mengambil posisi untuk mendengarkan hingga tuntas. First of May mengalun apik dan sempurna. Tepat di bagian reffrain: “But you and I, our love will never die......” pas di “I” dan bersambung di “our love will never die” itu merupakan improvisasi olah vokal yang luar biasa dari seorang Emi Fujita.

Denting gitar di lagu kedua menyeruak membuyarkan kesan mendalam alunan piano dan olah vokal piawai di lagu pertama. Fields of Gold dari jawara kawakan STING, mengobrak-abrik imajinasi saya akan kesan lagu STING. Denting gitar minimalis mengiringi alunan vokal Emi Fujita. Belaian dan kekuatan vokal luar biasa di bagian: “Will you stay with me will you be my love, Among the fields of barley? We’ll forget the sun in his jealous sky, As we lie in the fields of gold”....sungguh melambungkan banyak sekali memory dari masa lalu.

Dominasi gitar dalam album ini memang membuat nuansa tertentu, terutama di lagu ke 3 Today yang dibawakan dengan maut oleh Emi Fujita.

Today while the blossoms still cling to the vine
I’ll taste your strawberries, I’ll drink your sweet wine
A million tomorrows shall all pass away
Ere I’ll forget all the joy that is mine today

Bagian itu benar-benar melambungkan fantasi dan imajinasi romantis ke mana-mana. Luar biasa memang.

Dan 2 lagu yang saya suka adalah no. 8 yaitu Every Breath You Take dan no. 9 True Colors. Dua lagu ini menyentak langsung dengan kualitas vokal jawara Emi Fujita dan segera diiringi dengan bass yang pulen. Lagu yang pernah dinyanyikan oleh STING dan pernah juga keluar di salah satu episode Ally McBeal, sekaligus menjadi favorit Diva kita, Diva Langit KoKi. Diva Langit KoKi yang tidak perlu disebut namanya rasanya sangat mumpuni jika melantunkan tembang ini, dengan warna suara yang mirip, saya yakin akan pas sekali. (Serius tidak mengada-ada lho Lemb...). Penutup no. ke 8 ini cukup asik, fading away dengan pelahan diiringi musik yang asik.

True Colors sendiri yang pernah dilantunkan oleh Cindy Lauper dan Phil Collins, kali ini dibawakan oleh Emi Fujita dengan gayanya sendiri. Dentuman bass tepat di bagian reffrain sangat membuai telinga.

Secara umum, album ini sangat layak untuk dikoleksi, jika didengarkan bersama pasangan dengan peralatan audio yang cukup mumpuni akan membawa aura yang romantis. Total lagu sebanyak 16 lagu secara umum enak dinikmati dan sangat worth untuk dikoleksi. Jangan dengarkan album ini di computer Anda, baik itu laptop atau desktop, akan kurang terasa detail dari musik minimalis dan olah nafas Emi Fujita.

Terima kasih sudah mau membaca resensi coba-coba pertama ini...semoga dapat memberikan tambahan info buat kita semua....

Terima kasih Mamak Z, KoKiers....

Peace....cheers....


Note:
Ulasan musik ini pernah tayang di Kompas Komuniti, Kolom Kita, edisi Maxuel Jump, James Bond Island & Damri (Taiwan, AS, Swiss), Selasa 25 Maret 2008, http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=62002&section=92

Tuesday, 18 March 2008

Chinese Salad

Chinese Salad

Kali ini perkenankanlah saya memperkenalkan sajian simple ini yaitu Chinese Salad, yang walaupun sangat, sangat simple penyajiannya tapi jelas sangat menyehatkan.


Bahan:
Wortel
Broccoli
Paprika hijau/merah/kuning
Jamur kuping direndam dalam air sampai lunak
Jamur hioko direndam dalam air sampai lunak (optional)
Jumlah bahan-bahan di atas sesuai kebutuhan dan selera.

Dresser:
Minyak wijen
Garam
Maggi blok yang dihancurkan (jika suka, terserah selera)


Cara membuat:
Rebus paprika dan broccoli dengan kadar keempukan sesuai selera. Potong kotak paprika mentah seperti dalam foto, rajang halus jamur kuping dengan ukuran sesuai selera, seperti dalam foto.

Campur semua bahan di wajan atau mangkok besar, tambahkan minyak wijen sesuai selera. Jika ingin rasa dresser yang kuat, ya tambahkan banyak. Garam dan Maggi blok (kalau suka), sesuai selera karena kadar selera asin masing-masing berbeda.

Terlalu sederhana? Dicoba deh....bahkan bapak-bapak yang tidak terbiasa masuk dapur juga tidak akan menemui kesulitan bikin Chinese Salad ini. Lihat warna yang menarik dan menantang. Dengan bahan-bahan pilihan, kesegaran dan kesehatan hidangan ini sangat membuat ketagihan. Thanks to my Wife who introduced me this salad, also taught me how to make it.......

Wednesday, 12 March 2008

Asal Usul Lontong Cap Go Meh

Asal Usul Lontong Cap Go Meh
(Josh Chen – Global Citizen)

Hello lagi Mamak Presiden, KoKiers.....

Masing-masing kota di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam merayakan Cap Go Meh ini.

Foto 1: Lontong Cap Go Meh

Full set dari lontong cap go meh yang terlihat dalam foto ini terdiri dari lontong, ayam opor, ayam abing (akan dijelaskan lebih lanjut), sambel goreng ati ampela, lodeh terong/labu, telor pindang, bawang merah goreng dan bubuk dokcang (tidak terlihat dalam foto, akan dijelaskan terpisah juga).


Di Jawa terutama, dikenal dengan menyajikan hidangan khas lontong cap go meh. Sementara di Kalimantan, mungkin Night dan Meazza sendiri bisa menceritakan lebih detail. Di Medan juga lain lagi, sembahyang di kelenteng mendominasi kegiatan di malam Cap Go Meh ini. Kemudian disambung dengan atraksi barongsai, dan lontong cap go meh sendiri sudah mulai menyebar di beberapa bagian di Nusantara ini. Bahkan makanan ini sudah jadi paten namanya di mana-mana, menu di resto, warung, bahkan foodcourt di mall-mall akan seragam semua namanya: “lontong cap go meh”, padahal dimakan setiap saat, bukan pas cap go meh. Sepengetahuan saya, di Kalimantan perayaan Cap Go Meh tidak dengan menyajikan makanan ini.

Semua referensi baik buku kuno, sejarah Semarang, situs-situs kuliner, Google dibolak-balik, Wikipedia ditelusuri, tapi tidak ada satu pun yang menceritakan sejarah atau asal usul lontong cap go meh. Semua website hanya menampilkan sajian lontong cap go meh dan pernik-perniknya. Saya mencoba untuk menebak dan mengira-ngira latar belakang asal usul lontong cap go meh.

Jejak langkah imigran pertama dari China diperkirakan hampir sama tuanya di Nusantara ini, tapi jejak langkah aktifitas dan peninggalan orang Tionghoa di Indonesia, diperkirakan di kisaran tahun 1400’an. Laksamana Cheng Ho yang membawa pasukan perdamaian menurut catatan sejarah singgah ke berbagai kota di Indonesia ada sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari yang ilmiah oleh Gevin Menziez: 1421 The Year China Discovered The World, sampai yang fiksi sejarah Remy Sylado: Sam Po Kong, menunjukkan bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan dengan mulus tanpa adanya paksaan, tanpa adanya “program pembauran”, tanpa adanya politik dsb.

Pembauran ini alamiah, wajar dan manusiawi. Umumnya para perantau ketika itu, mulai dari panglima pemimpin rombongan pasukan perdamaian, sampai dengan jongos kapalnya 99,9% jelas laki-laki. Seperti banyak diketahui bahwa Laksamana Cheng Ho sendiri (yang kemudian dikenal sebagai Sam Po Kong) adalah seorang kasim alias sida-sida (orang kebiri) kerajaan Ming, orang kepercayaan Kaisar Yong Le. Dengan mayoritas laki-laki, pada masa itu (juga sekarang rasanya), jamak jika singgah atau berlabuh di satu negeri asing nun jauh di antah berantah, mereka berusaha menyalurkan insting alaminya, baik dengan cara “quick & short” ataupun “long term relationship”. Sebagian dari para awak kapal muhibah ini ada yang tinggal karena membangun rumah tangga dengan penduduk setempat, ada yang terpaksa tinggal karena sakit (seperti jurumudi Laksamana Cheng Ho, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Juru Mudi yang juga dihormati di Kelenteng Sam Po Kong Semarang sampai sekarang), ada yang karena pesakitan alias residivis yang memilih melarikan diri, membaur dengan penduduk setempat daripada dibawa pulang ke China untuk menjemput kematian karena hukuman mati Kaisar.

Dengan berbagai latar belakang ini, dipercaya berbagai sumber sejarah, bahwa perkembangan pendatang dari China ini awalnya dimulai di pesisir pantai utara Jawa. Pasukan dan awak kapal yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho juga terdiri dari berbagai jenis manusia, agama, budaya dan pendidikan. Agama yang mayoritas di rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika itu adalah agama Buddha sementara pemimpin tertinggi alias panglimanya si Laksamana Cheng Ho adalah pemeluk Islam yang taat, dan menurut sumber-sumber sejarah, beliau ini sudah menuntaskan kewajiban haji. Karena berbagai jenis latar belakang inilah, maka pembauran dengan penduduk setempat yang ketika itu masih kental sekali animisme, dinamisme, dan Kejawen’nya berjalan dengan lancar. Penyebaran pertama Islam di pulau Jawa dipercaya sudah dimulai di masa itu, jauh sebelum Wali Sanga, demikian juga berdampingan dengan Islam, agama Buddha juga berkembang dengan subur di bumi Nusantara.

Perayaan Imlek sendiri mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa sebagai sesuatu yang benar-benar baru, aneh, dan menyenangkan. Adaptasi berjalan dengan cepat. Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan segala jenis budaya, pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain seiring dengan pembelajaran mereka sendiri dengan kebiasaan setempat. Termasuk rangkaian dalam setahun menurut penanggalan Imlek diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebiasaan penduduk setempat. Mulai dari hari pertama Sincia atau Imlek, yang aslinya dari China adalah perayaan menyambut musim semi (春节), tapi karena di negeri tropis yang tidak akan pernah mengalami “winter”, nama chun jie (baca: juen cie, menyambut musim semi) tidak pernah dikenal dalam menyebut perayaan Tahun Baru Imlek. Yang dikenal adalah “Imlek” atau “Sincia”. Demikian juga dengan penutup rangkaian perayaan tahun baru Imlek ini yang di tempat asalnya disebut dengan Yuan Xiao Jie (元宵节, baca: yuen siau cie) tidak pernah dikenal di Indonesia, karena pemaknaan yang sedikit berbeda, apalagi tidak akan pernah dikenal dengan nama Shang Yuan Jie (上元节, baca: shang yuen cie). Untuk menyederhanakan sebutan, di kemudian hari kemudian disebut dengan Cap Go Meh, yang diambil dari dialek Hokkian, yang artinya “malam ke 15” alias malam bulan purnama menurut penanggalan Imlek. Sederhana, gampang diingat dan mudah dipahami oleh semua orang, dibanding dengan sarat dan dalamnya makna serta cerita di belakang nama “resmi” Yuan Xiao Jie.

Perayaan aslinya sendiri yang menggunakan makanan simbolis (元宵) atau ronde, yang menyimbolkan kerageman (kesatuan) keluarga, karena terbuat dari tepung ketan. Menurut perkiraan saya, pada masa itu, mungkin saja beras ketan sudah dikenal di masyarakat luas (note: sampai dengan tulisan ini ditulis belum pernah diadakan penelitian pola makan, makanan, ataupun budaya makan di masa abad 14-16 di Nusantara ini, khususnya di Jawa). Walaupun demikian, makanan yang terbuat dari beras ketan ditumbuk kemudian dibulatkan sehingga kenyal rasanya akan terlihat aneh bagi penduduk lokal.

Untuk mengakrabkan dan memperlancar proses asimilasi, para pendatang ini berkreasi dengan makanan pokok yang sudah ada sejak dulu kala yaitu beras nasi. Untuk menggenapkan dan memenuhi persyaratan menyambut bulan purnama dibuatlah lontong yang berbentuk bulat juga. Teknik membuat lontong ini dipercaya diadaptasi dari teknik pembuatan bakcang/kicang yang sudah ada ribuan tahun. Untuk pelengkap hidangan tadi sekaligus untuk menghormati Laksamana Cheng Ho yang seorang Muslim, dikreasikan lagi pendamping lontong tadi dengan “sup” ayam modifikasi dan silang budaya antara pendatang dan penduduk asli, menggunakan rempah-rempah yang memang sudah ada dan digunakan sejak lama di bumi Nusantara ini, ditambahkan santan, dsb, bisa jadi inilah asal mula masakan opor.

Sampai saat ini, tidak ada satupun peneliti kuliner dan referensi yang bisa menjelaskan “opor ayam” itu berasal dari mana, sejak kapan ada di Indonesia, siapa penemunya, siapa peramu awalnya, mulai kapan menyebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, tidak seorangpun yang tahu, hanya disebutkan “resep warisan leluhur”. Praduga inipun hanya berdasarkan imajinasi saya sendiri, didasari beberapa referensi baik ilmiah maupun fiksi ilmiah, sehingga tulisan ini lebih merupakan fiksi ilmiah daripada suatu hasil penelitian ilmiah yang sahih dan akurat.


Foto 2: Lontong
Seperti diuraikan di atas, secara simbolis, lontong menggantikan sajian “resmi” di negeri asalnya yaitu yuanxiao alias ronde. Melambangkan bulan purnama yang bulat bundar, melambangkan kebulatan dan kebersihan hati dari warna putih yang dihasilkan dari bahannya.

Foto 3: Ayam Opor

Dari warnanya jelas terlihat kuning. Sebenarnya opor di Jawa terdiri dari 2 macam, opor putih dan opor kuning. Opor putih di sini lebih banyak diminati oleh kalangan emak-emak (sebutan), yaitu para wanita Tionghoa yang sudah membaur dengan kebiasaan setempat mengenakan baju kurung (bukan kebaya) dan sarung selayaknya penduduk setempat. Penampilan unik ini hanya ada di Jawa. Inilah yang disebut emak-emak atau golongan Tionghoa babah. Sebutan Tionghoa babah adalah golongan yang sudah berasimilasi dan berbaur dengan penduduk lokal, sementara Tionghoa totok adalah golongan yang baru datang dari China dan belum berbaur.

Sementara opor kuning, biasa dimasak oleh penduduk asli dengan menambahkan kunyit, dengan alasan “luwih ayu” (lebih cantik), tidak pucat dan lebih menyehatkan badan karena kunyit sebagai penyeimbang santan. Seperti diketahui bahwa fungsi kunyit sangat baik untuk kesehatan tubuh.

Makna warna kuning diasosiasikan dengan emas, yang berkonotasi kemakmuran dan kemakmuran. Saya pribadi lebih suka opor kuning, yang memang terlihat lebih cantik dan rasanya lebih “sedep”.


Foto 4: Sambel Goreng Ati Ampela

Warna merah mencorong sambel goreng ati ampela dengan jelas menyiratkan warna wajib perayaan Imlek dan segala sesuatu yang dipercaya oleh orang Tionghoa. Jelas sekali bahwa makanan ini adalah lintas budaya asimilasi yang melebur total karena jelas di China tidak ada masakan seperti ini, dan mayoritas masyarakatnya tidak meyukai pedas, apalagi masakan dengan banyak rempah dengan rasa dan aroma yang tajam seperti sambel goreng. Terkecuali beberapa wilayah di China yang memang akrab dengan pedas, seperti Sichuan, dan itupun tidak menggunakan santan dan rempah seperti masakan khas ini.

Foto 5: Telor Pindang

Jelas juga bahwa telor di manapun juga melambangkan rejeki, murah rejeki, kemakmuran, harapan baik, segala sesuatu yang baik. Pemasakan telor pindang ini juga khas Indonesia, lebih spesifik lagi di Jawa, dengan daun jati atau rempah lain yang menghasilkan telor pindang nikmat yang gempi (apa ya bahasa Indonesia’nya?). Memang telor “pindang” juga ada di China, tapi namanya telor teh alias cha ye dan (茶叶蛋, baca: ja ye tan), yang memiliki penampakan yang mirip, telor kecoklatan nikmat. Walaupun aroma dan rasa yang berbeda sama sekali.




Foto 6: Lodeh Terong atau Labu

Ini pelengkap dari hidangan ini semua, warna putih, dengan labu atau terong sebagai sayurnya, melambangkan harapan baik juga, labu atau terong, suatu harapan dan cita-cita yang baik, warna putih yang menyiratkan lembaran baru di tahun yang baru. Perbedaan terong dan labu hanya perbedaan daerah saja. Di Semarang, lebih suka labu atau jipang, sementara di Jakarta lebih suka terong.


Foto 7 & 8: Ayam Abing & Kelapa Sangrai

Ini sangat spesifik dan khas hanya ada di Semarang, ada juga yang menyebutnya “sate abing”. Abing sendiri dari bahasa Jawa yang menggambarkan warna merah yang sangat merah, warna merah dalam bahasa Jawa disebut “abang”, dan sangat merah disebut “abing”. Masakan ini kalau boleh saya sebut nama lainnya bisa juga disebut “opor merah” (ini istilah saya saja lho). Pembuatan yang lebih rumit dari opor biasa, karena harus menggunakan kelapa parut yang disangrai sampai kering dan kecoklatan yang kemudian digiling sehingga menghasilkan cairan kental warna merah tua kecoklatan. Cairan kental merah kecoklatan ini sebagai pengganti santan dalam memasak “opor merah” ini, sementara semua bumbunya sama persis seperti bumbu opor (minus kunyit, supaya warna merah tua terjaga). Rasanya bagaimana? Hanya orang Semarang yang mungkin bisa menggambarkannya. Walaupun saya juga cukup yakin bahwa mungkin banyak di antara KoKiers yang sudah pernah merasakannya. Sepengetahuan saya, ayam abing ini tidak didapati di daerah lain.

Sesuai namanya yang “sangat merah” menyimbolkan makna yang sama dengan sambel goreng ati tadi di atas, warna khas perayaan Imlek, dan masakan ini merupakan kemewahan tersendiri di saat menyambut Tahun Baru Imlek. Terlebih lagi tidak banyak orang yang bisa membuat ayam abing dengan benar dan menghasilkan masakan yang sedap. Sementara nama lain “sate abing” adalah warna kecoklatan yang diasosiasikan dengan bumbu sate.





Bawang merah goreng dan bubuk dokcang (tidak ada fotonya), sebagai pelengkap dan penyedap dari hidangan khas ini. Bubuk dokcang terbuat dari kedelai yang disangrai dicampur dengan sedikit kaldu (Maggi atau merek lain) dan kemudian digiling halus sampai jadi bubuk kecoklatan.

Semoga uraian singkat ini dapat bermanfaat dan menjadi titik awal penelitian dan penelusuran selanjutnya mengenai asal-usul lontong cap go meh yang nikmat ini. Saking nikmatnya dan sudah menjadi salah satu kuliner khas Nusantara, sampai-sampai namanya pun melekat erat dan menjadi trade mark yang dapat disantap kapanpun, di manapun juga.

Bagi pembaca di luar Indonesia, harap jangan sampai ngiler atau ngeces, kalau setelah membaca ini kemudian homesick menghebat, iler ketes-ketes (air liur netes-netes), tolong jangan timpuki saya ya.....hehehe.....

Terima kasih sekali lagi sudah mau membaca cerita ngalor ngidul saya ini, yang berusaha menulis “fiksi sejarah” mengingat sangat terbatasnya referensi mengenai makanan lontong cap go meh ini.

Terima kasih Mamak Presiden Z, KoKiers....

HAPPY CAP GO MEH.....

God bless Indonesia....peace....cheers.....


Photo by: Josh Chen
Lontong cap go meh by: Warung Eddie
Tulisan ini pernah keluar di Kompas Komuniti, di bagian MakPles, tanggal 27 Februari 2008

Tuesday, 26 February 2008

Perayaan & Asal Usul Cap Go Meh

Perayaan & Asal Usul Cap Go Meh
(Text & Cerita: Cakrawala Meazza & JC; Foto: Lizzie, Cakrawala Meazza, Gandalf & JC)

Hello Mamak Presiden Z, KoKiers around the world....

Bagian pertama akan dijelaskan oleh Cakrawala Meazza asal usul Cap Go Meh langsung dari negeri tempat budaya ini berasal....

Sejarah Cap Go Meh

Cap Go Meh atau Yuan Xiaojie (元宵节) adalah salah satu hari raya tradisional Tiongkok yang sangat penting. Yuanxiao Jie ini di peringati pada hari pertama bulan purnama di tahun baru (lunar calendar). Dengan berlangsungnya Yuan Xiaojie, maka berakhirlah seluruh rangkaian perayaan tahun baru Imlek.


Yuan Xiaojie, berasal dari kata ‘yuan’ (元) yang artinya pertama, ‘xiao’ (宵) adalah sebutan malam oleh orang-orang jaman dulu, sedangkan ‘jie’ (节) artinya adalah hari raya atau festival. Seringkali juga disebut Shang Yuanjie (上元节).

Di masa lalu, perayaan Yuan Xiaojie ini selalu ditandai denganpemasangan lampion, makan ronde/yuanxiao (元宵), main tebak-tebakan, ke luar rumah untuk melihat bulan, dan makan bersama seluruh anggota keluarga.

Yuan Xiaojie sudah dilaksanakan di Tiongkok sejak 2000 tahun yang lalu. Ada beberapa versi seputar sejarah Yuan Xiaojie. Yang pertama yaitu pada masa
pemerintahan Raja Mingdi yang saat itu mulai tertarik dengan ajaran Buddha. Raja mendengar bahwa dalam agama Buddha setiap malam bulan purnama adalah malam
penghormatan terhadap Sang Buddha. Salah satu cara untuk menghormati Sang Buddha adalah dengan memasang lampion. Maka diapun memerintahkan setiap keluarga untuk memasang lampion di rumah masing-masing setiap malam bulan purnama.



Pada masa pemerintahan Raja Hanwen, ditetapkan bahwa pemasangan lampion cukup dilakukan di malam purnama di bulan pertama saja. Karena malam purnama pertama di tahun baru ini sebagai suatu lambing keoptimisan, menyongsong hari depan yang lebih baik.

Versi kedua, bahwa tradisi pemasangan lampion ini berasal dari Daoism, yaitu ajaran tentang ‘3 unsur utama’, yaitu malam purnama di bulan pertama merupakan bulan naik yang melambangkan unsur ketuhanan, purnama di bulan ke-7 adalah bulan pertengahan yang melambangkan unsur bumi, dan purnama di bulan ke-10 merupakan bulan turun yang mewakili unsur kemanusiaan. Oleh sebab itu di setiap purnama di 3 waktu itu harus memasang lampion. Maksudnya untuk menghormati ketiga unsur terpenting itu.

Seiring dengan perkembangan jaman, Yuan Xiaojie mengalami perubahan. Pada dinasti Han cukup menggantung lampion selama 1 hari, masuk dinasti Tang diperpanjang menjadi 3 hari, kemudian pada dinasti Song menjadi 5 hari, sampai masuk dinasti Ming pemasangan lampion dimulai sejak hari ke-8 (lunar calendar) sampai hari ke-17 (10 hari). Beragam bentuk lampion digantung di setiap sudut kota maupun rumah-rumah penduduk. Tidak hanya lampion, berbagai kegiatan lain pun diselenggarakan. Bahkan pada dinasti Qing ditambah dengan tarian Naga, Barongsai, dan kegiatan lainnya. Jadilah hari raya ini semakin meriah.


Yang paling menarik dan paling ditunggu-tunggu muda-mudi adalah acara tebak-tebakan. Setiap orang membawa satu lampion dan di lampion itu sudah ditempeli dengan kertas yang berisi teka-teki (biasanya 4 huruf). Yang wanita memberikan tebakan kepada yang pria dan sebaliknya. Kalau masing-masing bisa menebak dengan benar, bisa langsung nge-date lho. Maksudnya untuk mencari pasangan yang tingkat kepintarannya seperti yang diinginkan si pemilik teka-teki.

Mengenai tradisi makan ronde, tak lain untuk melambangkan berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Pada Yuan Xiaojie ini semua berkumpul di rumah yang tertua untuk makan ronde yang disebut ‘tangtuan’ (汤团), ‘tang’ artinya soup, sedangkan
‘tuan’ artinya berkumpul. Jadi, Yuan Xiaojie juga sangat penting karena dengan adanya hari besar ini, meski berada jauh dari sanak keluarga, diusahakan untuk pulang, berkumpul bersama.

Ah…Yuan Xiaojie kali ini, saya juga tidak bisa berkumpul bersama keluarga. Seperti syair karya Wang Wei (Tang Dinasty):
独在异乡为异客,每逢佳节倍思亲。
遥知兄弟登高处, 遍插茱萸少一人。

Terjemahan:
Sendiri di kampung orang merasa asing,
setiap tiba hari raya rindunya berlipat ganda.
Ingin tau saudara yang jauh naiklah ke tempat yang tinggi,
memetik daun obat (Cornus officinalis) kekurangan seseorang.

Cap Go Meh di Indonesia

Itu tadi merupakan versi asli asal usul tradisi perayaan hari ke 15 setelah Tahun Baru Imlek. Sementara kata Imlek sendiri merupakan dialek Hokkian yang artinya adalah Lunar Calendar, yaitu penanggalan berdasarkan perputaran bulan di alam semesta. Jika di tahun masehi ada tahun kabisat, di penanggalan Imlek ada yang namanya “bulan ke 13” alias “lun gwee” (juga dalam dialek Hokkian, yang artinya kurang lebih “pembulatan”).


Kalender lunar yang mendasarkan perhitungan atas gerakan bulan cuma punya 29.5 hari dalam 1 bulan atau 354 hari dalam setahun. Sedangkan pergerakan matahari adalah 365.25 hari dalam setahun. Sehingga ada beda 11.25 hari antara setahun kalender lunar dengan kalender matahari. Lun-gwee kemudian ditambahkan ke dalam tahun Imlek untuk sinkronisasi perhitungan atas pergerakan bulan dengan pergerakan matahari itu. Berdasarkan perhitungan, maka ada 7 bulan kabisat yang perlu ditambahkan dalam periode 19 tahun Imlek. Untuk lebih lengkapnya bagi yang tertarik dengan perhitungan ini silakan visit ke link yang iccsg.wordpress.com itu di bawah.

Sebutan Cap Go Meh sendiri lebih dikenal di Indonesia daripada di tempat mana pun di dunia. Cap Go Meh sendiri sebenarnya adalah penamaan yang salah kaprah yang mungkin sudah beratus tahun sehingga menjadi benar karena tradisi. Cap go meh artinya adalah “malam ke 15” yaitu tanggal 15 bulan pertama, yang disebut dalam dialek Hokkian “cia gwee cap go”. Perayaan ini merupakan puncak perayaan sekaligus penutup dari serangkaian perayaan Imlek. Di Indonesia sendiri, sejak dulu kalo orang lebih kenal dengan sebutan Cap Go Meh daripada sebutan lain walaupun dalam versi aslinya.

Perayaan Cap Go Meh di kota-kota besar di Indonesia kembali marak sejak era keterbukaan 10 tahun belakangan ini. Perayaan Cap Go Meh pernah mencapai masa keemasan yang dirayakan segenap lapisan masyarakat, suku dan agama terjadi di tahun 1950-1960. Menurut penuturan Papa saya, perayaan Cap Go Meh di Semarang selalu meriah dan merupakan saat yang dinanti-nanti semua orang. Arak-arakan dari berbagai kelenteng di daerah Pecinan, akan memenuhi jalanan, beriringan dengan kemeriahan suara mercon alias petasan, tabuhan khas atraksi barongsai dan naga, berbaur menyatu di mana-mana.

Masing-masing kota di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam merayakan Cap Go Meh ini. Di Jawa terutama, dikenal dengan menyajikan hidangan khas lontong cap go meh. Sementara di Kalimantan, mungkin Night dan Meazza sendiri bisa menceritakan lebih detail. Di Medan juga lain lagi, sembahyang di kelenteng mendominasi kegiatan di malam Cap Go Meh ini.

Jejak langkah imigran pertama dari China diperkirakan hampir sama tuanya di Nusantara ini, tapi jejak langkah aktifitas dan peninggalan orang Tionghoa di Indonesia, diperkirakan di kisaran tahun 1400’an. Laksamana Cheng Ho yang membawa pasukan perdamaian menurut catatan sejarah singgah ke berbagai kota di Indonesia ada sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari yang ilmiah oleh Gevin Menziez: 1421 The Year China Discovered The World, sampai yang fiksi sejarah Remy Sylado: Sam Po Kong, menunjukkan bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan dengan mulus tanpa adanya paksaan, tanpa adanya “program pembauran”, tanpa adanya politik dsb.

Perayaan Imlek mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa sebagai sesuatu yang benar-benar baru, aneh, dan menyenangkan. Adaptasi berjalan dengan cepat. Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan segala jenis budaya, pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain seiring dengan pembelajaran mereka sendiri dengan kebiasaan setempat. Termasuk rangkaian dalam setahun menurut penanggalan Imlek diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebiasaan penduduk setempat. Mulai dari hari pertama Sincia atau Imlek, yang aslinya dari China adalah perayaan menyambut musim semi (春节), tapi karena di negeri tropis yang tidak akan pernah mengalami “winter”, nama chun jie (baca: juen cie, menyambut musim semi) tidak pernah dikenal dalam menyebut perayaan Tahun Baru Imlek. Yang dikenal adalah “Imlek” atau “Sincia”. Demikian juga dengan penutup rangkaian perayaan tahun baru Imlek ini yang di tempat asalnya disebut dengan Yuan Xiao Jie (元宵节, baca: yuen siau cie) tidak pernah dikenal di Indonesia, karena pemaknaan yang sedikit berbeda, apalagi tidak akan pernah dikenal dengan nama Shang Yuan Jie (上元节, baca: shang yuen cie). Untuk menyederhanakan sebutan, di kemudian hari kemudian disebut dengan Cap Go Meh, yang diambil dari dialek Hokkian, yang artinya “malam ke 15” alias malam bulan purnama menurut penanggalan Imlek. Sederhana, gampang diingat dan mudah dipahami oleh semua orang, dibanding dengan sarat dan dalamnya makna serta cerita di belakang nama “resmi” Yuan Xiao Jie.

Demikian sejarah singkat gabungan dari versi asli dari negeri asalnya, dan reka-reka berdasarkan analisa pribadi, beberapa referensi, baik yang ilmiah maupun fiksi ilmiah. Tulisan ini akan bersambung dengan rangkaian penutup perayaan Imlek di Indonesia yaitu tulisan tentang Asal Usul Lontong Cap Go Meh.

Terima kasih sudah membaca tulisan kolaborasi serta memelototi foto-foto kolaborasi juga.

Terima kasih Mamak Presiden Z, KoKiers....

God bless Indonesia....peace...cheers....


Keterangan Foto:
Pohon Harapan (Wishes Tree) by: Lizzie
Lanterns by: Lizzie & Cakrawala Meazza
Kembang Api by: Gandalf The Grey
Lontong Cap Go Meh: Josh Chen


Sumber:
Gevin Menzies: 1421 The Year China Discovered The World, Bantam Press 2003
Remy Sylado: Sam Po Kong, Gramedia Pustaka Utama 2004
Liem Thian Joe: Riwayat Semarang, Hasta Wahana 2004
http://www.china.com.cn/ch-jieri/yuanxiao/2.htm
http://baike.baidu.com/view/104822.htm
http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghua/2005-08/msg00123.html
http://iccsg.wordpress.com/2006/08/17/lun-gwee-bulan-kabisat-dalam-kalender-imlek/
http://handelstraat.multiply.com/journal
http://rdroege.multiply.com/journal/item/69/LONTONG_CAP_GO_MEH_


Tulisan ini pernah tayang di Kolom Kita (KoKi) di Kompas Komuniti:

Benyamin S, Cap Go Meh & Beijing, I am in Love (China, AS, Libya) tanggal 25 Februari 2008 http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=60860&section=92